Potret Santri Kawan Syaithon

Gang Penyelamat- Di tengah-tengah dunia kesantrian, sering kita jumpai dialognya para santri,"Ayo, siapa yang menjadi teman syaiton ?"  tanya seorang santri yang duduk di teras kamar pada kawannya. “ente sendiri lah!", sahut teman yang tain.

"Lho, kok bisa?," sahut santri pertama agak terpojok. "Lha wong entetiap hari mbuang nasi kok !", sahut san¬ri ketiga bangga. "Bukan hanya itu saja, coba perhatikan kalau ia menjemur pakaian, kapan memperhatikannya, bila pakaian yang ada dilemarinya habis, baru bingung mencarinya kesana-kemari!", Lanjut santri kedua. “Tapi kan bukan hanya saya sendiri yang berbuat tabdzir (mubadzir) membuang makanan dan tidak menjaga amanat pakaian!", jawab santri pertama sambil nyengar-nyengir nggak malu, dasar rahi gedek. Seketika itu dialog pun berhenti.

Kalau kita jujur kepada Allah, sosok manusia mana di pesantren ini yang tidak pernah berbuat tabdzir ? baik itu karyawan maupun karyawati, apalagi yang namanya santriwan dan santriwati, hampir tiap hari dan bahkan tiap saat, perbuatan tabdzir inipun selalu menghantuinya. Bukankah perbuatan tabdzir ini telah Allah larang lewat firmannya, "Janganlah kamu hambur-hamburkan hartamu secara boros!". Kalau mereka saling mengelak, "Saya tidak! saya tidak!", lantas siapa yang menaburkan nasi di atas meja-meja dapur, siapa lagi yang membiarkan pakaian-pakaiannya berjatuhan di jemuran ?

Penyakit Santri. Mubadzir
Penyakt Santri: Mubadzir
Bila kita arahkan pada pandangan lain, akan terlihat sana-sini para santri dengan leluasanya merendam dan menjemur pakaian, dibiarkannya sampai berhari-hari tak mau mencuci dan mengambiInya. Hingga tampak semrawut dan berantakan, malahan sebagian dari mereka ada yang tidak mau mengambiI hak miliknya sendiri. Walhasil, gudang yang begitu luas penuh dengan pakaian-pakaian yang terlantar. Menurut pengalaman ana sebagai pengasuh, untuk urusan ini pengurus asrama sudah semaksimal mungkin untuk bisa meretas penyakit ini. Dan bahkan kalau bisa hal-hal seperti ini dapat dimanfaatkan barang berartakan itu.
Sadar maupun tidak sadar, terlebih bagi pesantren. Tipe santri seperti di ataslah de¬ngan tidak sengaja akan mencemarkan citra pesantren di mata umat. Sebab kalau mereka mengabari orang tuanya melapor dengan kata-kata "PAKAIAN SAYA BANYAK YANG HILANG". Kalau kita kaji lebih cermat, laporan santri pada orang tua macam ini adalah tidak benar. Ketika mengasuh, ana sering didatangi oleh wali santri untuk mengadu.  Berbagai komen di utarakan mereka untuk membela anaknya (meskipun ana yakin sebagian besar dari mereka tidak memahami perilaku anak-anaknya di pondok).

"Jaga komplek ya dik?", perintah Ibu, wali santri dari tenggarong. "Ya bu," jawab ana. "Ya kok dik, ditunggu saja masih banyak pakaian yang hilang. Tuh seperti anak saya. Kalau kirim surat yang diminta pakaian, katanya sih hilang! sahut ibu lagi. Di waktu yang lain ada juga wali santri, kali ini dari Berau dan melaporkan senada dengan wali dari Tenggarong. Dan masih banyak lagi yang dating dengan kejadia serupa. “MENGELUH”.

Dan untuk menangkis semua itu, biasa kami para pengasuh menjelaskan kepada para wali santri yang dengan kalimat yang seperti ini. “Menurut hemat kami, di pondok pesantren ini tidak ada yang namanya pencuri. Tapi yang jelas begini, anak-anak Bapak dan Ibu inilah yang kurang menjaga amanat. Mereka teledor terhadap pakaian dan malas  mencarinya dan tidak sabar!

Untuk mengatasi fenomena- fenomena di atas, pesantren telah banyak berjuang dan ikuti berkiprah serta terjun langsung ke lapangan. Bagi santri yang berbuat tabdzir, mereka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang sesuai. Begitu juga semua barang-barang yang dimili¬ki harus dikasih nama, hal ini untuk menjaga agar barang yang tercecer dan terlantar dapat diketahui siapa yang punya.

Tindakan selanjutnya, biasanya dibeberapa pesantren dalam mengatasi tabdzir' ini, membuat slogan-slogan serta dalil-dalil larangan tabddzir yang dipampangkan di berbagai tempat. Adalagi jalan dengan lain, yaitu dengan membuat selebaran kertas yang berjudul "LARANGAN BERBUAT TABDZIR", selebaran itu dibagi-bagikan kepada seluruh santri dan dikaji pada tiap kelas.

Yang harus digaris bawahi dan diperhatikan secara seksama adalah, santri mana yang masih belum mengerti kalau berbuat tabdzir (mubadzir) itu dilarang oleh Islam ? Menurut hemat ana, tak seorang pun santriwan maupun santriwati, asing dan tidak mengerti bahwa  tabdzir itu menyia-nyiakan  makanan dan pakaian. Namun bukankah itu hanya sebagai iImu saja yang belum tentu kapan mereka akan mengamalkannya. Mereka lebih terpuji kalau diinfakkan ketimbang disia-siakan.'Tapi bukankah mereka rela menginfakkan harta dan barangnya yang telah rusak dan berantakan di jemuran dan bawah-bawah meja makan ?
Namun harus dicamkan baik-baik, kasus di atas hanyalah potret beberapa santriwan dan santriwati yang pada belum sadar. Jumlah mere¬ka hanya sedikit dan kian hari kian menipis. Doakan saja, semoga jumlah mereka yang tinggal minoritas itu segera jadi musuh syetan, dan bukan lagi jadi kawannya. AMIN……….

Potret Santri Kawan Syaithon, Semoga bukan kita yaaa,,,,,,

0 Comment "Potret Santri Kawan Syaithon"

Post a Comment